Di samping itu, kemajemukan vertikal juga menjadi salah satu kondisi yang memungkinkan terjadinya sebuah konflik.
Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat Kemajemukan horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena setiap unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Adapun kemajemukan horizontal sosial dapat menimbulkan konflik karena setiap kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda, bahkan saling bertentangan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan terdapat benturan kepentingan. Taraf kepincangan dari distribusi yang pernah diungkapkan oleh Jonathan H. Turner (Soerjono Soekanto, 1988: 66) merupakan salah satu pendapat yang mempunyai kesejajaran dengan penyebab konflik yang telah disebutkan di atas. Menurut Turner, taraf kepincangan pada distribusi sumber daya akan memengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.
Apabila distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem semakin tidak seimbang, maka konflik kepentingan di antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem akan semakin meningkat. Demikian pula dengan pendapat Coser yang menitikberatkan pada sistem distribusi. Coser menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi-kondisi yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan intensifikasi tekanan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang tidak dominan. Maurice Duverger (1993) mengungkapkan bahwa penyebab konflik bertolak dari sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1993: 174). penyebab antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan sebab-sebab kolektif.
Menurut Duverger, sebab-sebab individual muncul perbedaan bakat individual setiap manusia. la mendasarkan diri pada konsep-konsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life, yang menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidupnya dan yang paling mampu akan memenangkannya. Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik, hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik.
Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik. Bentuk-bentuk konflik lainnya, seperti konflik antara buruh dan pengusaha, serta petani dengan tuan tanah merupakan konflik kelompok-kelompok ideologis, yang menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.
Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali terpolarisasi dalam kelompok-¬kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain, kondisi sosial, kultural, dan politiknya sangat majemuk. Stnuktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Sistem sosial dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini ditandai dengan tiadanya konsensus politik dan ideologis, yakni konsensus yang disepakati bersama dan dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Dalam negara dengan sistem politik otokrasi tradisional, kekuasaan mutlak terletak pada raja.
Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan sebagai pengendali konflik politik. Oleh karena itu kelompok dominan, dalam hal ini raja, memiliki kekuasaan yang mutlak (absolut). Adanya ketidakseimbangan distribusi sumber kekuasaan ini merupakan penyebab terjadinya konflik politik.
Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik. Menurut Surbakti (1992: 156-158), intensitas konflik ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu:
- Pertentangan antara pihak-pihak yang berkonflik yang mencakup pelbagai jenis.
- Terdapat kelas yang dominan dalam industri.
- Pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya.
- Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat risiko yang timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang diperebutkan maka konflik akan semakin intens. Demikian pula dengan risiko. Semakin besar tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka konflik akan semakin intens.
- Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik maka konflik semakin intens.
- Semakin besar keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik maka konflik semakin intens.
- Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens.
- Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens.