Jika kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat sampai dengan Perang Dunia II, masyarakat-masyarakatnya hanya mengenal adanya satu kebudayaan yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lain yang terdapat dalam masyarakat tersebut dimasukkan sebagai golongan minoritas dengan beberapa hak-hak mereka yang dibatasi dan dikebiri. Di Amerika Serikat, beberapa gejolak yang terjadi yang bertujuan untuk menyamakan hak golongan minoritas yaitu kulit hitam mulai timbul pada akhir tahun 1950-an. Puncak gejolak tersebut adalah pada tahun 1960-an, yaitu dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkannya perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu golongan terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (Suparlan, 1999).
Pada tahun 1970-an usaha-usaha untuk mencapai kesederajatan menemui berbagai hambatan karena corak kebudayaan warga kulit putih yang beragama Protestan dan dominan itu berbeda dengan corak kebudayaan warga kulit hitam, orang Indian atau pribumi Amerika, serta dari berbagai kebudayaan bangsa dan suku bangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang diedit oleh Reed (1997). Upaya-upaya yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang prodemokrasi dan HAM, serta orang 1231t antirasisme dan diskriminasi adalah menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah pada tahun 1970-an.
Bahkan, anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan suku bangsa lainnya, dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibu di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu Nieto 1992). Jadi, jika Glazer (1997) mengatakan bahwa apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini, di Amerika Serikat adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970-an.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri, terpisah dari ideologi-ideologi lainnya, multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan Konsep-konsep untuk dijadikan acuan untuk memahaminya dan mengembangkannya dalam Kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan.ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, serta hak budaya komunitas (Fay 1996, Rex 985, Suparlan 2002).